Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2011

Doaku

Ya Allah, jadikanlah aku orang yang berani dalam kesepian dan kesendirian. Kapanpun, di manapun

Naskah Tua

Oh naskah tua Dalam dirimu sang realita Cinta, drama, tragedi Semua terpendam Kubuka lembar demi lembar Terpampang cerita yang telah berlalu Meski kotor nan rapuh Realita tetap dalam dirimu Naskah tua Hancurkah kau dimakan usia ? Buyarkah kau terpendam lembaran lembaran putih ? Hilangkah kau terjepit dinding dinding nan kokoh ? Namun  naskah tua Kau tak akan sirna Meski dirimu lenyap Jiwamu akan selalu ada Dalam renunganku

Kiasan Bagai Bunga

Matahari mengintip Cahayanyapun  menyinari Embun pagi Bunga bunga basah Matahari semakin ke atas Panas pun semakin terasa Kering Semakin layu bunga bunga Hujan tak turun Kering makin jadi Panas tak terhindar Semakin layu kelopaknya Layu...layu...hingga tumbang Hujan, kemana dirimu ? Embun, di mana kau bersembunyi ? Aku ingin suasana dulu Basahlah kau bunga bunga Segarlah kau dedaunan Hijau, menggetarkan jiwa Kembali tumbuh dan terlihat indah *Puisi ini menggambarkan tentang persahabatan yang mulai luntur, dan tidak seperti dulu. Puisi ini tidak ada kaitannya dengan cuaca panas,kekeringan,atau musim kemarau. Kata kata seperti bunga,embun,hujan,panas dan lainnya hanya sebagi konotasi

Tujuh Belas Hari

Matahari bersembunyi Remanglah suasana Sebuah penggilan memanggilku Beranjaklah aku dari kursiku Sampailah aku di tempat yang indah Di mana aku dan dia selalu bertemu Aku duduk Aku menunggu Dan aku berharap Tak lama ia pun datang Hingga waktunya datang Tak kulihat ia Batang hidungnya sekalipun Suasana seperti tak berarti Malam datang Aku pergi lagi Namun ia juga tak ada Tujuh belas haripun berlalu Tak kulihat ia Tak datang ia ke tempat biasa Aku rindu Aku ingin suasana dulu Aku ingin dia ada di dekatku Tujuh belas hari aku tak berada di sebelahnya Tujuh belas hari aku tak melihat wajahnya Tujuh belas hari suasana sepi di hati Tujuh belas hari aku rindu padanya Malamku selalu cerah bila kau ada Dini hariku tak pernah dingin bila kau ada Namun sekarang Tak lagi seperti dulu Aku rindu, aku rindu Aku ingin melihat wajahmu yang berbinar Aku ingin kesenangan hati ketika kau di sebelahku Aku ingin kau ada,

Sang Penghidup Masjid

Pagi buta Ia tinggalkan mimpi indahnya Indahnya adzan pun terdengar Terdengar pula jawaban dari bibirnya Air mengucur dari keran Basahlah tangan dan kakinya Sucilah badannya Berjalanlah ia ke tempat yang mulia Sampailah ia Terinjaklah ubin ubin putih nan bersih oleh kaki kanannya Terucaplah doa dari mulutnya Hingga waktunya datang Hanya hal bergunalah yang dikerjakannya Hingga waktunya datang Tak sia sialah masa hidupnya Waktunya pun datang Dimulailah sholat Ia lah imam Dari barisan barisan nan rapi Ia lah pelita di pagi dini Ia lah awan di siang yang terik Ia lah penyenang di sore yang indah Ia lah cahaya di petang yang remang Ia lah penghangat di malam yang dingin Ia lah ia Sang Penghidup Masjid

Sang Mutiara Hati

Ketika matahari terbit dari ufuk timur Aku beranjak dari kursiku Hanya untuk sebuah gambaran yang kan selalu kukenang Gemuruh ombak di pagi hari melepas kesunyian malam Matahari pun semakin menampakkan dirinya Tawa dan canda sahabatku turut mewarnai Ketika sang Mutiara Hati datang Kusambut ia dengan hati yang senang Kusapa ia Kupandangi wajahnya yang sungguh berbinar Namun, keceriaan itu sekejap manghilang bagai tersapu ombak Sampai selangkah kakipun tak bisa kulakukan untuk mengelaknya Tak tahu apa yang terjadi Dua penolong pun datang kepadanya Dan duduklah ia di hamparan pasir yang luas Kuhampiri ia Namun, hanya sakit yang ia rasakan Seorang penolong datang lagi kepadanya Namun, hanya berita pahit yang diterimanya Ia pun perlahan berjalan dengan rasa sakit Lalu hatiku berkata kepadaku untuk menolongnya Kupapah ia Kutuntun jalannya Betapa sedihnya aku melihat ia menderita Terengah engah menahan sakit yang dirasakannya Namun akhirnya setetes madu berhas