Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

MUSLIHAT

Mungkin hari-hari lalu Hati tak berkaca Mungkin hari-hari lalu Jiwa masih dalam pelayangan Mungkin hari-hari lalu Desah napas masih angkuh Sadar tak sadar, jiwa Muslihatmu selimuti pelupuk mata Mengaku tak mengaku, hati Angkuhmu tak sadarkan persendian Peluh? Mana peduli Air mata? Jangan harap ia datang Keluh kesah? Bahkan masih malu-malu Ah, bungkam saja kau berani Fana. Berani dalam fana Ah, enyah saja kau tangguh Palsu. Tangguh dalam kepalsuan Biarlah bibir-bibir penguasa bertitah apa Beda pula titah kemarin dan hari ini Jenuh, jenuh benak dalamnya Penat, penat kerut dahi bersamanya Mungkinkah? Mungkinkah hari ini waktu panggil air mata? Bisakah? Bisakah peluh lepas bebas dari kelenjar sebentar lagi? Yakin? Sudah yakin lidah keluh kesah hendak bercerita selepas ini? Bahkan, bahkan hati ingin berganti cerita kalau bisa

MALAM TERAKHIR

M alam-malam lepas sudah Beranjak dari malam ini menuju malam kemarin Detik-detiknya diharapkan para pencari Setiap saatnya didekap hangat para perindu Terbenamnya surya menjadi pagi cerah penuh semangat bagi para pecinta Ah, ia pergi Beranjak dari malam ini menuju malam kemarin Entah sumringahkah para malam? Dirindu para perindu Entah apa rindu palsu? Didekap para pencari Entah apa hanya dekap rayu? Dicinta para pecinta Apa cuma cinta-cinta kosong? Ia pergi Beranjak dari malam ini menuju malam kemarin Para pencari terbawa hati Para perindu bak telah berpisah sempurna Para pecinta tak ingin ditinggal Lalu air mata, mulai bermain-main di pipi Bebas lepas dari kelenjar Tumpah ruah membasahi Ah, janganlah air mata buaya Janganlah rindu-rindu hempasan Janganlah cinta-cinta jualan Supaya didekap lagi olehnya esok Sesal biarlah memeluk hati Air mata biarlah merias pipi Rindu biarlah mengisi hari Toh, ia juga pergi Sesal salahmu pula Air mata siapa yang minta

Ranah Baru

Menyambangi ranah baru emang gak mudah :"( Makan tenaga, hati, pikiran. Padahal ini masih bakal dijalani sekiranya minimal satu setengah tahun ke depan. ya…hanya bisa menyemangati diri sendiri ~ Entah. Kamu memang sudah kehilangan ‘rumah’ dua kali. Tapi, siapa tau ini adalah rumah yang kau maksud itu, Fal. Meskipun bukan dalam konteks yang lebih formal dan terikat. Wallahu a'lam. Allah yang paling tau bagaimana caranya supaya kita terbina, supaya kita berkembang, supaya kita semakin dewasa. Ya.…lagi-lagi, hanya bisa menyemangati diri sendiri~

MASA BODO

Dentingan logam dan kaca tak berarti Memecah sepi, dalam perenungan malam Ah, mungkin angin lewat Ah, masa bodo Dentingan lagi satu dua kali Menggila apa entah tak pasti Tetapi, iyakah perundakan tetap menunggu sepi? Mungkin lelah terlalu lelah Sampai remuk tubuh tak ingin dikejar Sampai hangus tulang tak jua dipuja Sampai kering asa tak jua dikeluhkan Mungkin jenuh terlalu jenuh Sampai peradangannya jua tak ubah Sampai kesendiriannya jua tak ingat Ah, mungkin jenuh pula benak dalamnya Masa bodo insan intelektual Tak gerak, tak pindah jemari tangannya Masa bodo lidah-lidah kebijakan Tak tahu di luar jendela, tak tahu di balik pintu Ah, masa bodo dunia Sampai perenungannya hilang dari perenungannya Sampai asa mungkin tak lagi asa Sampai kicau bibir-bibir manis pudar dari telinga

BERANJAKLAH

Kulihat tatapanmu begitu dalam Entah apa makna Mungkin benak dalam pelayangannya sejenak Satu, dua, tiga Tak kunjung beranjak Empat, lima, enam Derap pun tak kunjung terdengar Sepertinya jiwa-jiwanya masih dalam peraduan Ah, pergilah dikau Buka jendela kamarmu Tidak kah kau lihat mentari ingin berbagi keceriaan? Tapi, apa jua ia Kau tetap saja dalam kerapian persilangan kedua kakimu Tetap di situ Tak beranjak Ah, gila Mungkin gila aku kau kata Tapi, tidak gila kah jika semua tak beranjak Tidak gila kah kaki-kakimu masih tersimpul rapi? Tidak gila kah ketika peraduan dalam peraduannya sendiri? Ah, buta Mungkin buta aku kau kata Tapi, matahari sendiri yang tersenyum untukmu Lalu, buta siapa punya? Beranjaklah dikau Beranjaklah Berjalanlah dikau, lalu lari Lelah sudah, duduklah sebentar di samping ayah Lalu lekaslah kau gantikan senyuman matahari

Jatuh Ukhuwah

Ketika sebuah ikatan batin tercipta bukan karena hubungan darah. Ketika sebuah perasaan menguasai jiwa akan orang-orang yang selalu membersamai kita dalam berjuang. Ketika setiap langkah dalam benak dan realita selalu berada dalam derap yang selaras. Ah, mungkin itu kebetulan. Tetapi ikatan dan perasaan itu tidaklah begitu sederhana untuk menjadi sebuah kebetulan. Mungkin Sang pemiliki hati memang mengikat hati-hati para hamba-Nya dalam cinta kepada-Nya. Mungkin Sang pemilik jiwa telah mempersatukan jiwa-jiwa para hamba-Nya dalam naungan kasih sayang-Nya. Entah mengapa, ia terlalu manis untuk terus dinikmati. Tetapi tak mungkin kuat jiwa dan hati yang telah terhimpun tadi untuk lepas dari dekapannya. Ah, mungkin jiwa-jiwa sudah melebur jadi satu. Sampai batas jarak dan waktu memang tak ada arti. Ketika raga-raga yang berbeda seakan milik sendiri. Ketika selimut yang menghangatkan terasa lebih berhak untuk dikenakan raga yang lain, sedangkan raga sendiri masih dalam gemetarnya. Tetap

Rumah Lain

Terkadang, aku masih suka bertanya-tanya, apakah untuk berkembang kita harus berada di sebuah rumah yang lain? Apakah untuk berkembang kita harus berada dalam sebuah program? Karena kupikir demikian. Sudikah dua tiga insan di sana menjawab kebingunganku? Ya, benar. Tidak, tidak harus begitu. Entah mana jawaban yang akan kudapat, tetapi berkembang itu butuh tempat. Butuh orang-orang di luar keseharian formal kita yang disebut sebagai keluarga pula. Ya, manusia-manusia di kampus ini tidak cukup untuk menggemblengmu apa adanya untuk menjadi seseorang yang luar biasa. Empat lima lembaga yang kau ikuti tidak akan pernah cukup untuk menjadikanmu seseorang yang lebih bermakan dan memaknai. Karena di rumah lain itu, kau akan menemukan cara pandang yang lain. Sisi berbeda yang membuat pola pikirmu semakin luas. Pola keseharian baru yang mengoreksi setiap salah langkah yang sebenarnya sering kita lakukan. Ya, aku hanya ingin mencari sebuah rumah lain untuk belajar, untuk berkembang, untuk men

[FADHAILUL 'AMAL] [KEUTAMAAN-KEUTAMAAN AMAL]

Umat Islam adalah kaum yang beramal نَحنُ قَومٌ عَمَلِيٌّ (Kita adalah kaum yang beramal) Mengapa kita disebut sebagai kaum yang beramal dan mengapa kita harus beramal? Pertama, tuntutan bagi kita dalam beramal adalah sebagai pembuktian keimanan kita kepada Allah. Allah tidak mungkin membiarkan hamba-Nya beriman tanpa mengujinya. أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُون(٢َ) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ(٣) “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” [Al Ankabut 2–3] Kedua, tuntutan bagi kita dalam beramal adalah untuk menolong agama Allah. Dengan menolong agama Allah, sesungguhnya kita

Syumuliyatul Islam (Kesempurnaan Islam)

“...Saya pun bertanya-tanya,  kenapa pada satu sisi ada umat yang begitu mulianya dengan lslam,  sementara umat yang lain dengan Islam yang sama,  justru terpuruk?  Kenapa Islam pada suatu masa dapat memberikan pencerahan dan harapan bagi seluruh ummat manusia,  namun,  ada saat yang lain,  Islam dipandang rendah oleh umat manusia.  Padahal,  semuanya tidak ada yang berubah.  Jelas sudah,  ada sesuatu dari Islam yang telah hilang. Sesuatu yang dengan sengaja dihilangkan oleh orang-orang yang tidak senang kepada Islam dengan segala daya dan upaya mereka.  Sesuatu yang telah hilang inilah,  yang akhirnya menimbulkan ketakutan (phobia)  yang luar biasa kaum Muslim terhadap Islam.  Sesuatu yang telah hilang ini,  telah menjalarkan virus ketidakpercayaan dan ketakutan pengemban dakwah Islam untuk menyuarakan Islam yang mulia.  Sesuatu yang telah hilang ini pun,  mengakibatkan pemuda-pemuda Islam hidup tanpa tujuan yang jelas,  mereka menjadi seorang ilmuwan tanpa agama dan menjadi ahli ib

MENGEMBALIKAN IA YANG MUNGKIN TELAH HILANG DARI PARA PEMUDA

“Terkadang seorang pemuda tumbuh di tengah umat yang sejahtera dan tenang,  kekuasaannya kuat  dan kemakmuran meluas, akhirnya ia lebih banyak memperhatikan dirinya daripada memperhatikan umatnya, bersenang-senang  dan hura-hura dengan perasaan lega dan hati tenang (tanpa merasa berdosa).” ”Ada juga pemuda yang tumbuh di tengah umat yang berjuang dan bekerja keras karena dijajah bangsa lain dan urusannya dikendalikan secara zalim oleh musuhnya.  Umat ini berjuang semampunya untuk mengembalikan hak yang dirampas,  tanah air yang terjajah,  kebebasan yang hilang,  kemuliaan yang tinggi,  sarta idealisme yang luhur.  Pada saat itu,  kewajiban mendasar bagi pemuda tersebut adalah memberikan perhatian lebih besar kepada umatnya daripada kepada dirinya sendiri.” (Majmu'aturrasail, hlm. 70–72) Kalau kita bicara soal pemuda, artinya kita bicara soal diri kita sendiri. Kalau kita menengok dua kutipan paragraf di atas, termasuk kategori manakah kita? Pertama, atau Kedua? Secara fisi

Pulang

Aku bisa saja menghilang, pergi dari tempatku sekarang Menjauh dari peradaban yang telah kukenal, dan mengenalku Pergi, datang sebagai bukan siapa-siapa di tempat baru Sampai akhirnya, mungkin, aku bisa menjadi siapa-siapa di sana Aku bisa saja menghilang, pergi, dari sepersekian hidupku yang sekarang Mencari manusia-manusia yang mungkin lebih "menyenangkan" Tapi, layakkah aku? Pantaskah kutinggalkan begitu saja? Padahal, banyak orang yang membutuhkanku Ah, entah, mungkin hanya besar rasa Tapi kurasa iya Siapa yang tahu? Aku berpikir dua kali Tiga kali Berkali-kali Mungkin, ada baiknya aku tetap di sini Tetap bersama mereka Mereka yang ternyata mungkin lebih "menyenangkan" Mungkin, di sini lebih baik Tetap berdiri, lalu maju perlahan Maju perlahan, lalu maju dengan langkah pasti Maju dengan langkah pasti, sampai akhirnya aku  menggandeng mereka Menggandeng mereka untuk maju bersama Jangan perlahan, kalau memang pasti Masif, progresif, impresi