sudah lewat empat puluh lima menit biarlah penat melayang pergi dan rindu akan bersihnya kalbu selalu mengusap debu yang setiap hari berjatuhan menutupinya yang mengeruhkan rintik-rintik air yang bahkan belum menyentuh bumi hujan, datanglah hempaskan debu jalan dan biarkan kuhirup bau rerumputan yang tersenyum aku haus rintik-rintikmu biarkan aku kuyup, biar tak mati
Biarlah rindu terkadang mengetuk hati yang kering Hati kering yang terlalu angkuh Hati kering yang terkadang tak meminta basah kembali Biarlah cinta yang mendekapnya kembali Mendekapnya dalam rindu dalam tetes air mata dalam pelukan bumi kepada kening yang tertunduk dalam untaian kata yang penuh pinta
Mungkin hari-hari lalu Hati tak berkaca Mungkin hari-hari lalu Jiwa masih dalam pelayangan Mungkin hari-hari lalu Desah napas masih angkuh Sadar tak sadar, jiwa Muslihatmu selimuti pelupuk mata Mengaku tak mengaku, hati Angkuhmu tak sadarkan persendian Peluh? Mana peduli Air mata? Jangan harap ia datang Keluh kesah? Bahkan masih malu-malu Ah, bungkam saja kau berani Fana. Berani dalam fana Ah, enyah saja kau tangguh Palsu. Tangguh dalam kepalsuan Biarlah bibir-bibir penguasa bertitah apa Beda pula titah kemarin dan hari ini Jenuh, jenuh benak dalamnya Penat, penat kerut dahi bersamanya Mungkinkah? Mungkinkah hari ini waktu panggil air mata? Bisakah? Bisakah peluh lepas bebas dari kelenjar sebentar lagi? Yakin? Sudah yakin lidah keluh kesah hendak bercerita selepas ini? Bahkan, bahkan hati ingin berganti cerita kalau bisa
Komentar